Bissu dan Arajang, Dulu dan sekarang

Ipanippika’ engka maneng mappakkoe yase’na buaku. Namo tittiki de’na rebba  ero agagae” Ia menjelaskan bagaimana ia memutuskan untuk menjadi Bissu Bugis karena menerima panggilan berupa mimpi.


Kata-kata itu keluar dari mulut Puang Salma, seorang Bissu Bugis berusia 39 tahun, sembari menunjuk pisang dan daun sirih di depan kami. Sekilas, secara fisik Salma adalah laki-laki. Suaranya berat namun pelan, intonasinya feminis seperti suara perempuan. Gemulai.

Puang Salma menerima kami di Saoraja Arajang Segeri. Sebuah rumah panggung berwarna hijau dengan ruang kosong seluas tiga perempat dari luas rumah. Sepertiga bagian, yang berukuran sekira 3×10 meter, merupakan bilik di mana Puang Salma menerima kami.

Pertemuan kami diawali oleh pembacaan doa setelah Arifin Mude, seorang pemangku adat, menyodorkan nama kami dalam secarik kertas pada Puang Salma. Mulut Puang Salma komat-kamit seperti sedang merapal mantra di depan sesajen berupa pisang, telur dan daun sirih. Di bagian atas, tergantung sebuah benda berukuran sekira tiga meter berbungkus kain putih. Aroma dupa yang menguar menambah kesan mistis.

Dalam mimpi itu, ia melihat pisang, telur dan daun sirih diletakkan di atas perutnya. Pisang, telur dan daun sirih itu bergeming meski ia memiringkan badan. Mimpi itu, pisang, telur dan daun sirih adalah bagian dari persembahan dalam upacara adat suku Bugis, oleh Puang Salma ia artikan sebagai manase atau  panggilan untuk menjadi Bissu.

Panggilan berupa mimpi itu ia dapatkan saat ia sudah lulus SD. Salma pun kemudian berguru pada Sanro Seke’ selama sembilan tahun bersama tiga temannya. Seperti Puang Salma, ketiga temannya pun berhasil menjadi Bissu melalui proses yang tidak mudah. Sebuah ritual agar mereka mampu menekan hasrat biologis dan melepas kodrat seksual.

Untuk menjadi Bissu, Puang Salma harus melalui ritual irrebba (dibaringkan). Dalam ritual irrebba itu, calon Bissu dimandikan dan dikafani atau dalam bahasa Bugis disebut wuju. Selama proses itu ia tak boleh melakukan apa pun termasuk makan dan minum selama 3-7 hari. Proses ini untuk menghilangkan nafsu duniawi sebelum mereka menjadi Bissu.

Selain panggilan melalui mimpi, kehadiran seorang calon Bissu Bugis biasanya diketahui melalui penanda lain yang hanya diketahui kalangan Bissu. Puang Salma mengungkapkan tak semua orang yang mengikuti ritual irebba yang mampu melaluinya dan bisa ditabalkan sebagai Bissu.

Dahulu kala, pada masa Bugis pra Islam Bissu memiliki tempat tersendiri  dalam masyarakat Bugis. Kehadiran Bissu sama tuanya dengan kebudayaan Bugis. Dalam Sureq I La Galigo, saat sang penguasai langit Patoto’e memutuskan mengirimkan anaknya Batara Guru untuk mengisi dan memakmurkan dunia tengah (bumi), ia juga mengirimkan dua Bissu untuk menemani.

Dua orang Bissu ditugaskan untuk mendampingi Batara Guru dalam mengatur semuanya. Mulai dari menciptakan bahasa, adat istiadat dan apapun yang dibutuhkan Batara Guru. Dalam Sex, Gender and Priest in South Sulawesi, Sharyn Graham, MA, seorang peneliti dari University of Western Australia di Perth, Australia mengisahkan sebuah narasi yang ia dapatkan dari lontara’ yang berasal dari tradisi lisan masyarakat Bugis.


Kisah itu menceritakan betapa pentingnya Bissu dalam kehadiran manusia. Tersebutlah, saat Sawerigading ingin menikahi We Cudai yang tinggal di sebuah pulau di sebuah danau. Sawerigading membutuhkan sebuah perahu untuk menyeberang ke pulau di mana We Cudai tinggal. Untuk itu ia membutuhkan kayu. Sayangnya, Sawerigading tak mampu menebang pohon untuk membuat perahu.

Sawerigading pun menangis semalaman hingga seorang Bissu di dunia atas (langit) mendengar tangisannya. Sang Bissu pun turun dan menebangkan pohon yang oleh Sawerigading dibuat menjadi perahu. Dengan perahu itu, Sawerigading pun menemui dan menikahi We Cudai. Keturunan merekalah yang dipercaya sebagai awal mula manusia Bugis.

Pada masa kerajaan, Bissu memiliki peranan penting sebagai pemimpin spiritual, pelaksana upacara adat, penasehat kerajaan, ahli pengobatan  dan penjaga arajang (pusaka kerajaan).  Sebagai penghubung antara manusia dan dewa, seorang Bissu Bugis haruslah suci dan bersih. Kata Bissu sendiri, diyakini berasal dari kata Bugis, Bessi yang bermakna bersih. Untuk menjaga kesuciannya, Bissu harus lepas dari hasrat biologis dan seksual.

Berbeda dengan suku lain, masyarakat Bugis mengenal 4 (empat) gender; Orowane (laki-laki), Makkunrai (perempuan), Calabai (laki-laki yang keperempuanan) dan calalai (perempuan yang bersifat laki-laki), serta para-gender yang dikenal sebagai Bissu’. Sebagai perwakilan dewata, seorang Bissu harus melepaskan kelelakian dan keperempuannya.

Dalam menjalankan tugasnya sebagai penghubung manusia dan dewata, Bissu menggunakan bahasa tersendiri yang disebut Himme’, juga disebut Basa Bissu atau Basa Dewata.

Komunitas Bissu di Segeri mengenal dua tingkatan Bissu, yaitu Bissu Tanre’ (tinggi) dan Bissu Pance’ (pendek).  Bissu Tanrre’ ini dianggap memiliki kemampuan dan pengetahuan tinggi. Biasanya mereka berjumlah 40 orang dan hadir dalam ritual-ritual penting seperti Matteddu Arajang dan Mappalili.  Bissu Pance’ dianggap memiliki kemampuan dan pengetahuan lebih rendah dan hanya hadir pada upacara kerajaan biasa. Jumlah mereka biasanya hanya enam orang.

Para Bissu ini dipimpin oleh seorang Puang Matoa yang biasanya dipilih dari Puang Lolo atas kesepakatan dan persetujuan Raja. Puang Lolo adalah pendamping Puang Matoa sebagai pimpinan Bissu. Puang Lolo biasanya dipilih oleh komunitas Bissu itu sendiri dan tentu saja harus melalui persetujuan Raja. Selain Puang Matoa dan Puang Lolo, Bissu lain disebut Bissu biasa. Di Pangkep sendiri tersisa sembilan Bissu.


Source: 

http://lelakibugis.net/bissu-dan-arajang-dulu-dan-sekarang/

Komentar

Postingan Populer